Syeh Abbas padang Japang. Soekarno, dan Syeh Mustafa Abdullah
Kebangsaaan Indonesia,
Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahtraan Sosial
dan Ketuhanan. Adalah lima diantaranya, konsep ketuhanan yang ditempatkan pada
prinsip kelima oleh bung Karno akhirnya menjadi sila pertama dengan modifikasi
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rumusan Panitia Sembilan .
Menurut Charles
Simabura, dosen ilmu tata negara Universitas Andalas, dalam sidang pertama
BPUPKI pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, semua anggota memberi usul. Hampir semua
menawarkan konsep Ketuhanan. Menurutnya, konsep Ketuhanan yang diusulkan
terutama dari golongan agama lebih kongkret lagi yakni Ketuhanan dan Kewajiban
Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.
Lalu dari mana ide Ketuhanan yang ditawarkan Bung Karno?
Konsep tersebut bulir dari buah
pergaulan Bung Karno dengan para ulama. Sejak muda dia tumbuh dalam lingkungan
Sarekat Islam. Saat masa-masa pembuangan, Bung Karno terus berkorespondensi
dengan ulama. Misalnya, dengan pendiri Persatuan Islam (Persis) Ahmad Hassan
saat dibuang ke Ende. Hingga akhirnya, pada 1942, kata Ketuhanan terpatri dalam
benaknya ketika kelak Indonesia merdeka dan membentuk dasar negara adalah
sebuah keharusan.
Adalah Syekh Abbas Abdullah yang memberi wejangan kepada Bung Karno. Kala
itu, Bung Karno berkunjung ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di
Puncakbakuang, Padang Japang, yang didirikan Syekh Abbas.
“Bung Karno berkunjung ke madrasah Darul Funun, dengan tujuan meminta saran
kepada Syeikh Abbas Abdullah tentang apa sebaiknya bagi negara Indonesia yang
akan didirikan kelak, bila kemerdekaan benar-benar tercapai. Dalam hal ini
Syeikh Abbas menyarankan negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa,” tulis Muslim Syam dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan
20 Ulama Besar Sumatera Barat, terbitan Islamic Centre Sumatera Barat tahun
1981.
Syekh Abbas, yang dikenal dengan sebutan Buya (Syeikh) Abbas Padang Japang,
menambahkan kalau hal demikian diabaikan, revolusi tidak akan membawa hasil
yang diharapkan.
Fachrul Rasyid HF, yang turut
menulis dalam buku tersebut, mengatakan tidak banyak orang tahu pembicaraan
mereka berdua sebelum Syekh Abbas mengungkapkannya tiga hari kemudian. “Di
hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid al-Abbasyiah. Syekh Abbas
mengatakan kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar
dan penyelenggaraan negara,” ujar Fachrul menirukan kembali cerita yang dia
dapat dari keluarga Syekh Abbas dan masyarakat setempat. “Persisnya, Syekh
Abbas menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan.”
Kedatangan Sukarno ke Padang Japang
masih menjadi ingatan kolektif masyarakat Padang Japang saat ini. Yulfian
Azrial, anggota Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatra Barat, mengatakan, Darul
Funun merupakan madrasah yang cukup berpengaruh berkat kebesaran dua syeikhnya,
yakni Syeikh Abbas Padang Japang dan Syekh Mustafa Abdullah.
Kebesaran kedua syekh yang bersaudara ini membuat Sukarno merasa perlu ke
Padang Japang, setelah bebas dari pembuangan di Bengkulu. Bukti mesranya
hubungan Bung Karno dengan dua ulama tersebut berjejak dalam selembar
dokumentasi foto yang diambil Said Son.
Syekh Abbas dan Syekh Mustafa adalah murid ulama Minangkabau terkemuka di
Mekah, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Syekh Abbas juga kawan dekat Syekh Abdul
Karim Amarullah atau Inyiak Rasul (ayah Buya Hamka). Bersama Abdullah Ahmad dan
beberapa ulama lainnya, Syekh Abbas mendirikan nama madrasah yang sama yakni
Madrasah Sumatra Thawalib.
Tahun 1930, Syekh Abbas mengubah Sumatra Thawalib di Padang Japang menjadi
DFA karena menolak bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Syekh
Abbas sendiri kala itu bukan sekadar ulama melainkan juga panglima jihad
Sumatra Tengah. Pasukan jihad ini didirikan DFA sebagai basis perjuangan
menghadapi Belanda. Anggotanya adalah Hizbul Wathan dan Laskar Hizbullah.
Sementara sekolah tetap menjadi basis menggapai dan mengisi kemerdekaan.
“Wajar Sukarno menemui Syekh Abbas karena dia bukan saja ulama tapi
panglima perang,” tukas Fachrul, wartawan senior di Sumatra Barat.
Dikatakannya, perjumpaan Sukarno dengan Syekh Abbas hanya sebentar. Datang
sekitar jam satu siang lalu balik sekitar sorenya. Bung Karno sendiri berada di
Padang ketika era transisi dari Belanda ke Jepang. Dia berada di Sumatra Barat
selama lima bulan, dari Februari 1942 hingga Juli 1942.
Sumber : http://www.goriau.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar